BIDAN ROBIN LIM
CINTAI INDONESIA, BERIKAN BIAYA PERSALINAN GRATIS
DI UBUD
Di kalangan
masyarakat Ubud, Bali, nama Robin Lim sudah tak asing lagi di antara para ibu
hamil. Utamanya, mereka dari kalangan ekonomi kecil. Mereka amat merasakan
kebaikan hati perempuan berdarah campuran Amerika-Filipina ini. Selama 25 tahun
melayani persalinan secara gratis. Di tengah mahalnya biaya kesehatan, uluran
tangan Ibu Lim, sapaannya, sangatlah menentramkan hati.
Dalam keluarga pasangan Robert A Jekle yang
berkebangsaan Amerika dan Cresencia Lim asli Filipina, Robin Lim merupakan anak
sulung dari 7 bersaudara, ayahnya anggota militer Amerika Serikat yang semasa
dinas kerap bepergian ke luar negeri, di antaranya Yogyakarta pada tahun 1956. Sebagai
turis, ia memborong cenderamata untuk keluarga. Dan, khusus untuk Robin ia
membelikan wayang kulit, tepatnya tokoh bernama Gatot Kaca.
Sejak mendapat leh-oleh ukiran kulit itu, perempuan
kelahiran Arizona, Amerika Serikat, 24 November ini langsung kepincut kepada
negeri tempat Gatot Kaca berasal. Beribu pertanyaan menari-nari di kepalanya. “Seperti
apakah negara Indonesia itu?” Robin mengenang masa-masa itu.
Cerita sang ayah hanya sebatas, indonesia negara
beriklim tropis. Itu saja. Uniknya, meski hanya mendapat penjelasan terbatas
itu, Robin tak langsung bosan meminta sang ayah mengulang-ulang cerita tentang
keindahan Tanah Jawa. Setelah bersekolah, ia mencari informasi tentang
Indonesia dari berbagai literatur.
Kerinduannyaa melancong ke Indonesia pun kian
besar, dan saat beranjak dewasa, bidan profesional yang namanya tercatat
sebagai anggota North American Registry of Midwives dan Asosiasi Perbidanan
Indonesia ini pun memutuskan terbang ke Indonesia.
LANGSUNG JATUH HATI PADA UBUD
Berpuluh tahun lalu, pemegang sertifikat (certificed Professional Midwife) ini
masih buta kota mana di Indonesia ia mesti melancong. Tujuan utamanya memang
melihat langsung budaya klasik dan tradisi keraton di Yogyakarta, tempat
lahirnya tokoh Gatot Kaca. Tetapi dari info di literatur, Bali disebutkan
sebagai tujuan wisata utama di Indonesia. Kesanalah ia putuskan untuk pergi.
MEMBERI PELAYANAN GRATIS KEPADA MASYARAKAT TAK MAMPU
Sejak melancong yang pertama kali itu, Robin Lim
langsung kepincut. Ia pun sering bolak-balik Indonesia-Amerikka. Dan Ubud
rupanya menjadi tempat istimewa di hatinya. “Ketika itu Ubud sebuah pedesaan
yang sesuai dengan gambaran saya saat kecil,” katanya. “Saya merasa nyaman dan
betah berada di tengah masyarakanya yang sederhana dan ramah. Lalu, timbul
keinginan kuat dalam diri saya untuk menetap disini.”
Tekad Robin untuk tinggal di Ubud makin kuat, Desa
Pekeraman Nyuh Kuning, Ubud, Kabupaten Gianyar jadi pilihannya, dan terus
ditempatinya hingga kini. Bidan ini juga didorong ingin berbuat sesuatu untuk
menolong menurunkan tingkat kematian ibu akibat melahirkan yang tinggi di
masyarakat setempat.
“Saya tak mau hal menyedihkan yang terjadi pada
adik kandung saya terulang,” ujar Robin. Kenangannya melayang kepada adik
kandungnya yang meninggal waktu melahirkan. Rupanya kehamilan 7 bulan telah
terjadi komplikasi padanya, tapi luput dari pemeriksaan. “Saya ingin menebus
apa yang terjadi pada adik saya dengan membantu menyelamatkan ibu-ibu dalam
proses persalinan di sini.”
Robin Lim masih ingat, rasa sesal tak terhingga
karena tak cepat menolong adiknya. Sebagai bidan sebenarnya ia bisa membantu
persalinan di rumah, tetapi di negerinya itu tak biasa dilakukan. Persalinan umumnya
ya dirumah sakit.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagi Robin untuk
membuka praktik bidan di kampung halamannya. Tetapi ia belum punya nama, meski
sudah menguasai teori maupun praktik menolong persalinan. Sementara itu ia
banyak menulis buku seputar persalinan, juga tentang obat-obatan herbal alami
untuk mencegah kematian ibu saat bersalin. Dan Indonesia menjadi rujukan
baginya, karena negeri dengan hutan tropis pastinya kaya akan bahan baku
obat-obatan herbal.
Desa Ubud pun menjadi rumahnya, sejak tinggal di
Ubud pada 19990an, Ibu Robin Lim rajin menolong warga miskin yang melahirkan. Juga
berbagi informasi tentang proses persalinan alami, terutama yang mengedepankan
pertolongan kasih sayang, agar dapat mengurangi rasa sakit pasien. Metode yang
dilakukannya ini cepat tersebar di tengah masyarakat. Warga Ubud kian mengenal
figurnya, dan mereka mulai berdatangan ke rumahnya. Tidak seperti dimasa awal,
Robin mendatangi mereka bila dipanggil. Jadi, mirip dukun beranak. Warga setempat
mendesak bidan bersertifikat itu segera buka praktik di Nyuh Kuning, Ubud. Mereka
senang dibantu olehnya, karena biaya persalinan tidak mahal, bahkan tak sedikit
pasien yang digratiskan. Akhirnya pada 2005, pemerintah memberinya izin
praktik, membuka Klinik Bumi Sehat (KBS) di bawah naungan Yayasan Bumi Sehat.
Meskipun hanya berdiri di atas rumah kontrakan, KBS
menjadi harapan bagi warga miskin di Ubud. Dalam sebulan, tutur Ayu Panca Dewi,
administratur KBS, bayi lahir sekitar 30-55 orang. Terlebih KBS dioperasikan
dengan misi ‘Non profit’, sehingga KBS jadi rujukan bagi para ibu. Warga jadi
jarang melahirkan di puskesmas atau puskesmas pembantu.
KBS ini melayani pasien dari berbagai kalangan. Salah
satu artis penyanyi ibukota juga pernah melahirkan dibantu Robin. “Dia tertarik
bersalin di KBS Ubud dengan water birth, melahirkan di dalam air. Setiap persalinan
selalu ditangani langsung oleh Bunda Lim, meski ada banyak bidan jadi
asistennya. Jika ada masalah dalam persalinan, pasien segera dirujuk ke dokter
spesialis ginekologi.
Kini KBS di Nyuh Kuning ikt membina kesehatan para
orang tua lanjut usia. Sekitar 80 lansia dari berbagai daerah datang tiga kali
seminggu untuk berolahraga bersama. Sekali setahun mereka mendapatkan kostum
dari Yayasan Bumi Sehat, sebuah lembaga non profit. Bersyukur banyak pihak ikut
mendukung kegiatannya, seperti sejumlah perusahaan asing di Bali dan Club
Rotari.
MENCINTAI INDONESIA
Tak terasa sudah 25 tahun Robin Lim mengabdikan
dirinya untuk masyarakat sebagai bidan profesional di Ubud. Namun melihat
penampilannya, ia lebih mirip warga pedesaan, karena kesukaannya naik sepeda
dayung atau berjalan kaki. Cara berbusananya juga tak berbeda dari warga
setempat. Namun, tutur bahasanya halus dan lembut serta semangat keibuannya
luar biasa.
Jiwa sosial dan kecintaannya mengabdi kepada sesama
itu tidak hanya sebatas Ubud. Ia begitu tanggap bila terjadi bencana di suatu
daerah di Indonesia. Seperti saat terjadi tsunami di Aceh pada 2004. Ia terbang
kesana, lalu medirikan tenda darurat di Gampong Cot, Samatiga, Aceh Barat untuk
menolong kaum ibu yang kesusahan. Hingga sekarang KBS masih beroperasi di Aceh,
dengan 17 tenaga perawat dan bidan serta seorang dokter sebagai penanggung
jawab.
Juga halnya dengan gempa mengguncang Yogyakarta
(2006). Sehari sesudahnya, ia langsung ke lokasi, dan begitupun tatkala
Sumatera Barat dilanda gempa. Bahkan musibah di Haiti yang berada nun jauh
disana pada 2010 juga dibantunya.
Mengenai kebidupan pribadi Robin Lim sendiri, ia
mengaku telah sangat bahagia bersama 5 anak dan kedua cucunya. Usianya sudah
setengah abad lebih, namun semangatnya dan naluri kemanusiaannya tetap besar. Kebahagiannya
bertambah dengan kiprahnya sebagai pejuang kemanusiaan. Utamanya yaitu ketika
berhasil menyelamatkan ribuan kaum ibu yang bertarung melawan maut dalam
persalinan. Dibantu sekitar 40 karyawan, ditambah 5 relawan asing yang
memberikan bantuan medis, semangat kemanusiaan itu terus dikobarkan.
“Kalau saya mau cari duit, saya praktik bidan saja
di Amerika. Tapi jiwa saya tidak disitu. Saya bangga bila ada orang yang senang
ketika saya bantu. Ia merasa senang menerima bantuan dari saya, dan saya akan
mendapat ‘upah’ seumur orang yang senang itu. Kapan saja saya bertemu mereka,
mereka ingat, saya pun bahagia. Kebaikan sesama itu tidak bisa dibayar dengan
uang, seberapa pun banyaknya! Kebaikan orang itu tidak dijual, sehingga sulit
membelinya. Untuk itu, hanya ada satu cara yaitu kita menginvestasikan
pertolongan kepada sesama,” ujar Robin.
Peraih penghargaan International Alexander Langer Prize
pada 2006 itu sosok penuh kasih yang telah melampaui seluruh sekat-sekat di
masyarakat. Hidup istri Will Hammerle ini tercurah untuk sesama. Tiada keindahan
melebihi itum baginya. Robin Lim layak disebut pahlawan kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment