adsense link 728px X 15px

Sunday, September 25, 2011

BIDAN ROBIN LIM


BIDAN ROBIN LIM
CINTAI INDONESIA, BERIKAN BIAYA PERSALINAN GRATIS DI UBUD

Di kalangan masyarakat Ubud, Bali, nama Robin Lim sudah tak asing lagi di antara para ibu hamil. Utamanya, mereka dari kalangan ekonomi kecil. Mereka amat merasakan kebaikan hati perempuan berdarah campuran Amerika-Filipina ini. Selama 25 tahun melayani persalinan secara gratis. Di tengah mahalnya biaya kesehatan, uluran tangan Ibu Lim, sapaannya, sangatlah menentramkan hati.

Dalam keluarga pasangan Robert A Jekle yang berkebangsaan Amerika dan Cresencia Lim asli Filipina, Robin Lim merupakan anak sulung dari 7 bersaudara, ayahnya anggota militer Amerika Serikat yang semasa dinas kerap bepergian ke luar negeri, di antaranya Yogyakarta pada tahun 1956. Sebagai turis, ia memborong cenderamata untuk keluarga. Dan, khusus untuk Robin ia membelikan wayang kulit, tepatnya tokoh bernama Gatot Kaca.


Sejak mendapat leh-oleh ukiran kulit itu, perempuan kelahiran Arizona, Amerika Serikat, 24 November ini langsung kepincut kepada negeri tempat Gatot Kaca berasal. Beribu pertanyaan menari-nari di kepalanya. “Seperti apakah negara Indonesia itu?” Robin mengenang masa-masa itu.

Cerita sang ayah hanya sebatas, indonesia negara beriklim tropis. Itu saja. Uniknya, meski hanya mendapat penjelasan terbatas itu, Robin tak langsung bosan meminta sang ayah mengulang-ulang cerita tentang keindahan Tanah Jawa. Setelah bersekolah, ia mencari informasi tentang Indonesia dari berbagai literatur.

Kerinduannyaa melancong ke Indonesia pun kian besar, dan saat beranjak dewasa, bidan profesional yang namanya tercatat sebagai anggota North American Registry of Midwives dan Asosiasi Perbidanan Indonesia ini pun memutuskan terbang ke Indonesia.

LANGSUNG JATUH HATI PADA UBUD
Berpuluh tahun lalu, pemegang sertifikat (certificed Professional Midwife) ini masih buta kota mana di Indonesia ia mesti melancong. Tujuan utamanya memang melihat langsung budaya klasik dan tradisi keraton di Yogyakarta, tempat lahirnya tokoh Gatot Kaca. Tetapi dari info di literatur, Bali disebutkan sebagai tujuan wisata utama di Indonesia. Kesanalah ia putuskan untuk pergi.


MEMBERI PELAYANAN GRATIS KEPADA MASYARAKAT TAK MAMPU
Sejak melancong yang pertama kali itu, Robin Lim langsung kepincut. Ia pun sering bolak-balik Indonesia-Amerikka. Dan Ubud rupanya menjadi tempat istimewa di hatinya. “Ketika itu Ubud sebuah pedesaan yang sesuai dengan gambaran saya saat kecil,” katanya. “Saya merasa nyaman dan betah berada di tengah masyarakanya yang sederhana dan ramah. Lalu, timbul keinginan kuat dalam diri saya untuk menetap disini.”

Tekad Robin untuk tinggal di Ubud makin kuat, Desa Pekeraman Nyuh Kuning, Ubud, Kabupaten Gianyar jadi pilihannya, dan terus ditempatinya hingga kini. Bidan ini juga didorong ingin berbuat sesuatu untuk menolong menurunkan tingkat kematian ibu akibat melahirkan yang tinggi di masyarakat setempat.

“Saya tak mau hal menyedihkan yang terjadi pada adik kandung saya terulang,” ujar Robin. Kenangannya melayang kepada adik kandungnya yang meninggal waktu melahirkan. Rupanya kehamilan 7 bulan telah terjadi komplikasi padanya, tapi luput dari pemeriksaan. “Saya ingin menebus apa yang terjadi pada adik saya dengan membantu menyelamatkan ibu-ibu dalam proses persalinan di sini.”
Robin Lim masih ingat, rasa sesal tak terhingga karena tak cepat menolong adiknya. Sebagai bidan sebenarnya ia bisa membantu persalinan di rumah, tetapi di negerinya itu tak biasa dilakukan. Persalinan umumnya ya dirumah sakit.


Peristiwa itu menjadi titik balik bagi Robin untuk membuka praktik bidan di kampung halamannya. Tetapi ia belum punya nama, meski sudah menguasai teori maupun praktik menolong persalinan. Sementara itu ia banyak menulis buku seputar persalinan, juga tentang obat-obatan herbal alami untuk mencegah kematian ibu saat bersalin. Dan Indonesia menjadi rujukan baginya, karena negeri dengan hutan tropis pastinya kaya akan bahan baku obat-obatan herbal.

Desa Ubud pun menjadi rumahnya, sejak tinggal di Ubud pada 19990an, Ibu Robin Lim rajin menolong warga miskin yang melahirkan. Juga berbagi informasi tentang proses persalinan alami, terutama yang mengedepankan pertolongan kasih sayang, agar dapat mengurangi rasa sakit pasien. Metode yang dilakukannya ini cepat tersebar di tengah masyarakat. Warga Ubud kian mengenal figurnya, dan mereka mulai berdatangan ke rumahnya. Tidak seperti dimasa awal, Robin mendatangi mereka bila dipanggil. Jadi, mirip dukun beranak. Warga setempat mendesak bidan bersertifikat itu segera buka praktik di Nyuh Kuning, Ubud. Mereka senang dibantu olehnya, karena biaya persalinan tidak mahal, bahkan tak sedikit pasien yang digratiskan. Akhirnya pada 2005, pemerintah memberinya izin praktik, membuka Klinik Bumi Sehat (KBS) di bawah naungan Yayasan Bumi Sehat.

Meskipun hanya berdiri di atas rumah kontrakan, KBS menjadi harapan bagi warga miskin di Ubud. Dalam sebulan, tutur Ayu Panca Dewi, administratur KBS, bayi lahir sekitar 30-55 orang. Terlebih KBS dioperasikan dengan misi ‘Non profit’, sehingga KBS jadi rujukan bagi para ibu. Warga jadi jarang melahirkan di puskesmas atau puskesmas pembantu.

KBS ini melayani pasien dari berbagai kalangan. Salah satu artis penyanyi ibukota juga pernah melahirkan dibantu Robin. “Dia tertarik bersalin di KBS Ubud dengan water birth, melahirkan di dalam air. Setiap persalinan selalu ditangani langsung oleh Bunda Lim, meski ada banyak bidan jadi asistennya. Jika ada masalah dalam persalinan, pasien segera dirujuk ke dokter spesialis ginekologi.

Kini KBS di Nyuh Kuning ikt membina kesehatan para orang tua lanjut usia. Sekitar 80 lansia dari berbagai daerah datang tiga kali seminggu untuk berolahraga bersama. Sekali setahun mereka mendapatkan kostum dari Yayasan Bumi Sehat, sebuah lembaga non profit. Bersyukur banyak pihak ikut mendukung kegiatannya, seperti sejumlah perusahaan asing di Bali dan Club Rotari.

MENCINTAI INDONESIA
Tak terasa sudah 25 tahun Robin Lim mengabdikan dirinya untuk masyarakat sebagai bidan profesional di Ubud. Namun melihat penampilannya, ia lebih mirip warga pedesaan, karena kesukaannya naik sepeda dayung atau berjalan kaki. Cara berbusananya juga tak berbeda dari warga setempat. Namun, tutur bahasanya halus dan lembut serta semangat keibuannya luar biasa.

Jiwa sosial dan kecintaannya mengabdi kepada sesama itu tidak hanya sebatas Ubud. Ia begitu tanggap bila terjadi bencana di suatu daerah di Indonesia. Seperti saat terjadi tsunami di Aceh pada 2004. Ia terbang kesana, lalu medirikan tenda darurat di Gampong Cot, Samatiga, Aceh Barat untuk menolong kaum ibu yang kesusahan. Hingga sekarang KBS masih beroperasi di Aceh, dengan 17 tenaga perawat dan bidan serta seorang dokter sebagai penanggung jawab.

Juga halnya dengan gempa mengguncang Yogyakarta (2006). Sehari sesudahnya, ia langsung ke lokasi, dan begitupun tatkala Sumatera Barat dilanda gempa. Bahkan musibah di Haiti yang berada nun jauh disana pada 2010 juga dibantunya.

Mengenai kebidupan pribadi Robin Lim sendiri, ia mengaku telah sangat bahagia bersama 5 anak dan kedua cucunya. Usianya sudah setengah abad lebih, namun semangatnya dan naluri kemanusiaannya tetap besar. Kebahagiannya bertambah dengan kiprahnya sebagai pejuang kemanusiaan. Utamanya yaitu ketika berhasil menyelamatkan ribuan kaum ibu yang bertarung melawan maut dalam persalinan. Dibantu sekitar 40 karyawan, ditambah 5 relawan asing yang memberikan bantuan medis, semangat kemanusiaan itu terus dikobarkan.

“Kalau saya mau cari duit, saya praktik bidan saja di Amerika. Tapi jiwa saya tidak disitu. Saya bangga bila ada orang yang senang ketika saya bantu. Ia merasa senang menerima bantuan dari saya, dan saya akan mendapat ‘upah’ seumur orang yang senang itu. Kapan saja saya bertemu mereka, mereka ingat, saya pun bahagia. Kebaikan sesama itu tidak bisa dibayar dengan uang, seberapa pun banyaknya! Kebaikan orang itu tidak dijual, sehingga sulit membelinya. Untuk itu, hanya ada satu cara yaitu kita menginvestasikan pertolongan kepada sesama,” ujar Robin.

Peraih penghargaan International Alexander Langer Prize pada 2006 itu sosok penuh kasih yang telah melampaui seluruh sekat-sekat di masyarakat. Hidup istri Will Hammerle ini tercurah untuk sesama. Tiada keindahan melebihi itum baginya. Robin Lim layak disebut pahlawan kemanusiaan.

No comments:

Post a Comment