adsense link 728px X 15px

Sunday, September 25, 2011

DIAN INGGARWATI, GADIS TUNARUNGU BERPRESTASI INTERNASIONAL


Prestasi membanggakan diraih Dian Inggarwati. Berkat kemampuannya, ia baru saja meraih juara dua Miss Deaf World 2011 (kontes dunia bagi penderita tunarungu) yang diikuti 38 negara di Ceko. Sukses yang diraih oleh perempuan penyandang gelar sarjana komunikasi ini tak lepas dari dukungan sang bunda, Ratih Prasidhawati. Berikut kisah perjuangan Ratih dalam membesarkan dan mendidik putrinya yang tunarungu merengkuh kesuksesan, yakni bisa belajar di sekolah normal, menjadi sarjana, dan mampu bekerja di lingkungan orang normal hingga meraih prestasi di luar negeri

Beberapa bulan yang lalu bisa dibilang menjadi salah satu hari yang paling membahagiakan bagi Ratih, betapa tidak? Didepannya, di atas panggung yang megah di Ceko, sebuah negara di Eropa Timur, putri pertamanya mendapatkan standing applaus yang luar biasa saat membawa tarian Lenggang Nyai dari Betawi.

Tepuk tangan yang bergemuruh di Congres Hall Top Hotel Praha, Ceko itu membawa terbang melayang-layang. Terlebih ketika nama anaknya, Dian Inggarwati disebutkan sebagai Runner Up Miss Deaf World 2011, ia merasa seperti diawang-awang. Sejenak tak terbesit sedikitpun anaknya bakal meraih prestasi membanggakan itu. Sejurus kemudian, air mata kebahagiaan seorang ibu melihat anaknya menjadi juara ditingkat internasional.

Ratih memang sepantasnya bahagia dan terharu. Tak mudah anaknya menjadi pemenang dan bersaing ketat dengan 38 peserta dari negara lain di dunia. Indonesia baru pertama kalinya mengirimkan untusannya dalam ajang ini dan langsung meraih prestasi membangkakan. Malam itu juga setelah prestasi diraih, ucapan selamat didapatkan dari ibu-ibu KBRI Ceko. Mereka kagum atas kepintaran putrinya dan perjuangan Ratih mendidik anaknya yang mengalami gangguan pendengaran.

MELALUI PERJUANGAN PANJANG
Tak banyak yang mengetahui bagaimana perjuangan wanita yang akrab disapa Ida ini agar anaknya bisa maju dalam ajang tingkat internasional itu. Diceritakannya, awal keikutsertaan anaknya dalam lomba ini berkat tawaran dari Sehjira Deaf Foundation untuk mengikuti Miss Deaf World 2011. Begitu mendapatkan tawaran, anakmya langsung meminta izin kepadanya mengikuti lomba tersebut.

Karena yakin nantinya lomba ini nantinya akan memberikan pengaruh positif untuk anaknya, maka perempuan penyuka seni ini memberikan lampu hijau. Hanya, izin itu diberikan dengan syarat jika ada penjurian untuk memakai baju swimsuit, putriku harus memakai baju yang tertutup. “Saya tidak mau gara-gara ikut lomba tersebut, kemudian di dalam negeri didemo.”

Setelah urusan surat menyurat selesai, anaknya diminta untuk datang ke lokasi perlombaan di Praha, Ceko. “Saya ingat sekali waktu itu, ketika pertama kali datang sendiri ke dubes Ceko di Jakarta untuk melihat persyaratan pembuatan visa, ternyata ada poin yang sangat berat bagi saya. Untungnya berkat bantuan Ibu Lisa, akhirnya kami mendapatkan sponsor dan surat keterangan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sehingga hal yang saya rasakan berat itu bisa teratasi,” ceritanya. Demi keberangkatan itu pula ia harus mencari sponsor ke berbagai instansi.

Meski urusan syarat pembuatan visa sudah lancar, tantangan ta berhenti sampai disitu. Dua hari menjelang keberangkatan, visa belum juga turun. Masalah timbul lagi sesaat berada di bandara di Belanda. Ida di interview cukup lama, hingga baru bisa boarding ke pesawat 15 menit sebelum take-off. “Saya dan Dian dengan kecemasan berlari-lari sambil membawa koper. Sudah persis seperti cerita film saja,” jelas Ida.

Sesampainya di lokasi masalah muncul lagi. Tulisan Deaf No Problem yang sudah dibuatnya sejak dari jakarta hurufnya terlepas. Karena di hotel tidah ada lem, ia pun menjahit huruf tersebut dengan alat jahit yang disediakan di kamar mandi hotel.

Pada saat lomba berlangsung, tulisan yang sudah dipersiapkan itu dibawa anaknya naik panggung. “Saya tak menyangka, tulisan sederhana itu memukau para juri, dan menjadi nilai lebih untuk anak saya,” jelas Ida. “Saya bangga, dalam keterbatasan dia mampu mengharumkan nama bangsa. Terlebih, saat menari malam itu dia menggunakan kembang goyang warnah merah dibuat oleh neneknya yang sudah berumur 82 tahun. Hati ini benar-benar terharu. Rasa lalah saat itu sepertinya terobati,” tambah Ida.

LAHIR NORMAL
Ungkapan Ida itu juga tak lepas dari keadaan buah hatinya itu sendiri. Sekalipun mengalami cacat pendengaran tetapi mampu berprestasi di tingkat internasional. “Saya bangga sekali, sekali[un ada kekurangan, dia mampu ber[restasi,” jelas Ida

Seperti dijelaskan Ida, gangguan pendengaran anaknya terjadi sejak kecil. “Dia lahir tanggal 12 April 1984 dengan keadaan normal, berat 3,4 kg dan panjang 62 cm. Sesaat setelah lahir tangisannya kuat dan berkulit bersih. Kami semua menyambut dengan gembira. Suami saya kemudian memberinya nama Dian Inggarwati Soebangil. Tak ada tanda-tanda sedikit pun dia mempunyai kekurangan,” jelas istri Irwanto Hermawan ini.

Dua tahun berjalan, kejanggalan mulai dirasakannya. Ida melihat anaknya sepertinya tidak terlalu merespons ketika dipanggil. “Setiap saya panggil, dia diam saja. Kalaupun memberi respons hanya menggerakkan kepalanya tanda mencari sumber suara tersebut. Agar dia merespons, sampai-sampai saya harus berteriak kencang sambil menghampirinya,” jelas Ida.

Melihat kejanggalan itu, tanpa pikir panjang, ia segera memeriksakan putrinya ke dokter spesialis THT. Betapa terkejutnya Ida ketika dokter memberitahu kalau anaknya memang mengalami gangguan pendengaran. “Dokter saat itu menjelaskan kalau nilai pendengaran dia 55 desibel. Nilai pendengaran untuk orang normal 25 desibek. Jadi nilai pendengaran dia dua kali lipat nilai pendengaran orang normal. Inilah sebabnya dia baru bisa mendengar bila ada suara keras.”

“Tidak hanya saya yang kaget. Dokter anak langganan anak saya juga kaget mendengar informasi itu. Ia sama sekali tak menyangka Dian pendengarannya terganggu. Selama ini jika digerakkan benda di dekat telinganya, ia mampu merespons dengan menggerakkan kepalanya,” tambahnya.

JATUH KE SELOKAN SAAT HAMIL 8 BULAN
Vonis dari dokter itu membuat dirinya terheran-heran, ingin tahu penyebabnya. Sejenak ia ingat kejadian yang menimpa dirinya saat hamil 8 bulan. “Apakah masalah pada anak saya itu ada kaitannya dengan peristiwa jatuhnya saya ke selokan di seberang rumah saat saya hamil 8 bulan ya... tetapi dugaan penyebab itu segera saya tepis mengingat dokter kandungan yang memeriksa saya sesaat setelah jatuh mengatakan bahwa kandungan saya normal,” jelas Ida.

Waktu itu saya sedih sekali memikirkan masalah ini. Kepedihan saya itu tak lain memikirkan bgaimana masa depan anak saya hidup dengan pendengaran terganggu. Rasanya ingin teriak sekeras-kerasnya, meluapkan kekecewaan. Namun akhirnya saya pasrah. Mungkin ini suratan Tuhan. Saya akan merawat dan mendidik anak ini dengan baik, tambahnya.

Tersadar jika ini adalah takdir yang harus dijalani, ia segera bergerak dan tak mau ambil resiko yang lebih buruk lagi. Agar anaknya bisa mendengar dan berbicara, segera diikutkan dalam program speak therapy dan menggunakan alat bantu dengar. Setiap hari saya harus melatihnya di depan kaca untuk mengucapkan kata-kata mudah yang mudah ia tirukan dan dengar, meniup lilim dan balon merangsang pendengarannya, ujarnya.

Demi perkembangan anaknya, ia pun harus pandai-pandai embagi waktu antara bekerja dan merawat anaknya. Yang membuat Ida tak kalah panik saat anaknya berusia 5 tahun, ia melakukan protes secara tertulis. Dalam suratnya ia menanyakan mengapa dilahirkan tidak normal sedang adik-adiknya normal. “Saya kaget mendapatkan pertanyaan seperti itu dari seorang anak kecil. Padanya saya katakan, saya sebagai seorang ibu sebenarnya juga menginginkan anak-anaknya lahir normal. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita mau bilang apa, coba kamu tanya sendiri sama Tuhan kenapa kamu seperti itu.

BELAJAR DISEKOLAH NORMAL
Melihat kekurangan itu. Ida terus memberikan dukungan agar kelak anaknya bisa mandiri. Inilah sebabnya sejak usia dua tahun, anaknya sudah dimasukkan ke play group. Kepada guru-gurunya, ia mengatakan dengan jujur kondisi anaknya dengan tujuan agar mendapatnkan perhatian lebih.

Selama anaknya sekolah, sejak dari play group hingga lulus kuliah, hanya dua kali anaknya dimasukkan ke sekolah luar biasa. Yang pertama saat umur 2-4 tahun dan yang kedua saat di kelas satu dan duaa SD. Itu pun karena ingin anaknya belajar kosakata.

Ida bersyukur, dengan segala keterbatasan dan kemampuannya, anaknya diterima bekerja di Mimi Institut sebagai trainer dan sebagai marketing planner. Rasa bangga itu juga Ida sampaikan karena anaknya bisa mandiri layaknya orang normal lainnya.

Kedepan ia berharap anaknya terus berprestasi. Ia pun merasa lega, karena telah bisa memenuhi janji pada almarhum suaminya untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik.

No comments:

Post a Comment