Prestasi membanggakan
diraih Dian Inggarwati. Berkat kemampuannya, ia baru saja meraih juara dua Miss
Deaf World 2011 (kontes dunia bagi penderita tunarungu) yang diikuti 38 negara
di Ceko. Sukses yang diraih oleh perempuan penyandang gelar sarjana komunikasi
ini tak lepas dari dukungan sang bunda, Ratih Prasidhawati. Berikut kisah
perjuangan Ratih dalam membesarkan dan mendidik putrinya yang tunarungu
merengkuh kesuksesan, yakni bisa belajar di sekolah normal, menjadi sarjana,
dan mampu bekerja di lingkungan orang normal hingga meraih prestasi di luar
negeri
Beberapa bulan yang lalu bisa dibilang menjadi
salah satu hari yang paling membahagiakan bagi Ratih, betapa tidak? Didepannya,
di atas panggung yang megah di Ceko, sebuah negara di Eropa Timur, putri
pertamanya mendapatkan standing applaus yang luar biasa saat membawa tarian
Lenggang Nyai dari Betawi.
Ratih memang sepantasnya bahagia dan terharu. Tak mudah
anaknya menjadi pemenang dan bersaing ketat dengan 38 peserta dari negara lain
di dunia. Indonesia baru pertama kalinya mengirimkan untusannya dalam ajang ini
dan langsung meraih prestasi membangkakan. Malam itu juga setelah prestasi
diraih, ucapan selamat didapatkan dari ibu-ibu KBRI Ceko. Mereka kagum atas kepintaran
putrinya dan perjuangan Ratih mendidik anaknya yang mengalami gangguan
pendengaran.
MELALUI
PERJUANGAN PANJANG
Tak banyak yang mengetahui bagaimana perjuangan
wanita yang akrab disapa Ida ini agar anaknya bisa maju dalam ajang tingkat
internasional itu. Diceritakannya, awal keikutsertaan anaknya dalam lomba ini
berkat tawaran dari Sehjira Deaf
Foundation untuk mengikuti Miss Deaf
World 2011. Begitu mendapatkan tawaran, anakmya langsung meminta izin
kepadanya mengikuti lomba tersebut.
Karena yakin nantinya lomba ini nantinya akan
memberikan pengaruh positif untuk anaknya, maka perempuan penyuka seni ini
memberikan lampu hijau. Hanya, izin itu diberikan dengan syarat jika ada
penjurian untuk memakai baju swimsuit,
putriku harus memakai baju yang tertutup. “Saya tidak mau gara-gara ikut lomba
tersebut, kemudian di dalam negeri didemo.”
Setelah urusan surat menyurat selesai, anaknya
diminta untuk datang ke lokasi perlombaan di Praha, Ceko. “Saya ingat sekali
waktu itu, ketika pertama kali datang sendiri ke dubes Ceko di Jakarta untuk
melihat persyaratan pembuatan visa, ternyata ada poin yang sangat berat bagi
saya. Untungnya berkat bantuan Ibu Lisa, akhirnya kami mendapatkan sponsor dan
surat keterangan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sehingga hal yang saya rasakan
berat itu bisa teratasi,” ceritanya. Demi keberangkatan itu pula ia harus
mencari sponsor ke berbagai instansi.
Meski urusan syarat pembuatan visa sudah lancar,
tantangan ta berhenti sampai disitu. Dua hari menjelang keberangkatan, visa
belum juga turun. Masalah timbul lagi sesaat berada di bandara di Belanda. Ida di
interview cukup lama, hingga baru bisa boarding ke pesawat 15 menit sebelum
take-off. “Saya dan Dian dengan kecemasan berlari-lari sambil membawa koper. Sudah
persis seperti cerita film saja,” jelas Ida.
Sesampainya di lokasi masalah muncul lagi. Tulisan Deaf No Problem yang sudah dibuatnya
sejak dari jakarta hurufnya terlepas. Karena di hotel tidah ada lem, ia pun menjahit
huruf tersebut dengan alat jahit yang disediakan di kamar mandi hotel.
Pada saat lomba berlangsung, tulisan yang sudah
dipersiapkan itu dibawa anaknya naik panggung. “Saya tak menyangka, tulisan
sederhana itu memukau para juri, dan menjadi nilai lebih untuk anak saya,”
jelas Ida. “Saya bangga, dalam keterbatasan dia mampu mengharumkan nama bangsa.
Terlebih, saat menari malam itu dia menggunakan kembang goyang warnah merah
dibuat oleh neneknya yang sudah berumur 82 tahun. Hati ini benar-benar terharu.
Rasa lalah saat itu sepertinya terobati,” tambah Ida.
LAHIR NORMAL
Ungkapan Ida itu juga tak lepas dari keadaan buah
hatinya itu sendiri. Sekalipun mengalami cacat pendengaran tetapi mampu
berprestasi di tingkat internasional. “Saya bangga sekali, sekali[un ada
kekurangan, dia mampu ber[restasi,” jelas Ida
Seperti dijelaskan Ida, gangguan pendengaran
anaknya terjadi sejak kecil. “Dia lahir tanggal 12 April 1984 dengan keadaan
normal, berat 3,4 kg dan panjang 62 cm. Sesaat setelah lahir tangisannya kuat
dan berkulit bersih. Kami semua menyambut dengan gembira. Suami saya kemudian
memberinya nama Dian Inggarwati Soebangil. Tak ada tanda-tanda sedikit pun dia
mempunyai kekurangan,” jelas istri Irwanto Hermawan ini.
Dua tahun berjalan, kejanggalan mulai dirasakannya.
Ida melihat anaknya sepertinya tidak terlalu merespons ketika dipanggil. “Setiap
saya panggil, dia diam saja. Kalaupun memberi respons hanya menggerakkan
kepalanya tanda mencari sumber suara tersebut. Agar dia merespons,
sampai-sampai saya harus berteriak kencang sambil menghampirinya,” jelas Ida.
Melihat kejanggalan itu, tanpa pikir panjang, ia
segera memeriksakan putrinya ke dokter spesialis THT. Betapa terkejutnya Ida
ketika dokter memberitahu kalau anaknya memang mengalami gangguan pendengaran. “Dokter
saat itu menjelaskan kalau nilai pendengaran dia 55 desibel. Nilai pendengaran
untuk orang normal 25 desibek. Jadi nilai pendengaran dia dua kali lipat nilai
pendengaran orang normal. Inilah sebabnya dia baru bisa mendengar bila ada
suara keras.”
“Tidak hanya saya yang kaget. Dokter anak langganan
anak saya juga kaget mendengar informasi itu. Ia sama sekali tak menyangka Dian
pendengarannya terganggu. Selama ini jika digerakkan benda di dekat telinganya,
ia mampu merespons dengan menggerakkan kepalanya,” tambahnya.
JATUH KE
SELOKAN SAAT HAMIL 8 BULAN
Vonis dari dokter itu membuat dirinya
terheran-heran, ingin tahu penyebabnya. Sejenak ia ingat kejadian yang menimpa
dirinya saat hamil 8 bulan. “Apakah masalah pada anak saya itu ada kaitannya dengan
peristiwa jatuhnya saya ke selokan di seberang rumah saat saya hamil 8 bulan
ya... tetapi dugaan penyebab itu segera saya tepis mengingat dokter kandungan
yang memeriksa saya sesaat setelah jatuh mengatakan bahwa kandungan saya
normal,” jelas Ida.
Waktu itu saya sedih sekali memikirkan masalah ini.
Kepedihan saya itu tak lain memikirkan bgaimana masa depan anak saya hidup
dengan pendengaran terganggu. Rasanya ingin teriak sekeras-kerasnya, meluapkan
kekecewaan. Namun akhirnya saya pasrah. Mungkin ini suratan Tuhan. Saya akan
merawat dan mendidik anak ini dengan baik, tambahnya.
Tersadar jika ini adalah takdir yang harus
dijalani, ia segera bergerak dan tak mau ambil resiko yang lebih buruk lagi. Agar
anaknya bisa mendengar dan berbicara, segera diikutkan dalam program speak therapy dan menggunakan alat bantu
dengar. Setiap hari saya harus melatihnya di depan kaca untuk mengucapkan
kata-kata mudah yang mudah ia tirukan dan dengar, meniup lilim dan balon
merangsang pendengarannya, ujarnya.
Demi perkembangan anaknya, ia pun harus
pandai-pandai embagi waktu antara bekerja dan merawat anaknya. Yang membuat Ida
tak kalah panik saat anaknya berusia 5 tahun, ia melakukan protes secara
tertulis. Dalam suratnya ia menanyakan mengapa dilahirkan tidak normal sedang
adik-adiknya normal. “Saya kaget mendapatkan pertanyaan seperti itu dari
seorang anak kecil. Padanya saya katakan, saya sebagai seorang ibu sebenarnya
juga menginginkan anak-anaknya lahir normal. Namun jika Tuhan sudah berkehendak
kita mau bilang apa, coba kamu tanya sendiri sama Tuhan kenapa kamu seperti
itu.
BELAJAR
DISEKOLAH NORMAL
Melihat kekurangan itu. Ida terus memberikan
dukungan agar kelak anaknya bisa mandiri. Inilah sebabnya sejak usia dua tahun,
anaknya sudah dimasukkan ke play group. Kepada guru-gurunya, ia mengatakan
dengan jujur kondisi anaknya dengan tujuan agar mendapatnkan perhatian lebih.
Selama anaknya sekolah, sejak dari play group
hingga lulus kuliah, hanya dua kali anaknya dimasukkan ke sekolah luar biasa. Yang
pertama saat umur 2-4 tahun dan yang kedua saat di kelas satu dan duaa SD. Itu pun
karena ingin anaknya belajar kosakata.
Ida bersyukur, dengan segala keterbatasan dan
kemampuannya, anaknya diterima bekerja di Mimi Institut sebagai trainer dan
sebagai marketing planner. Rasa bangga itu juga Ida sampaikan karena anaknya
bisa mandiri layaknya orang normal lainnya.
Kedepan ia berharap anaknya terus berprestasi. Ia pun
merasa lega, karena telah bisa memenuhi janji pada almarhum suaminya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik.
No comments:
Post a Comment